Cerita sorang anak dengan Ibunya..

Pada suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur, yang sedang menyiapkan makan malam, dan ia menyerahkan selembar kertas yang selesai ditulisnya. Setelah ibunya mengeringkan tangannya dengan celemek, ia membacanya dan inilah tulisan si anak:

Untuk memotong rumput : Rp. 45.000,-
Untuk membersihkan kamar minggu ini : Rp. 10.000,-
Untuk pergi ke toko menggantikan mama : Rp. 5.000,-
Untuk menjaga adik waktu mama belanja : Rp. 3.000,-
Untuk membuang sampah : Rp. 7.500,-
Untuk rapor yang bagus : Rp. 50.000,-
Untuk membersihkan & menyapu halaman : Rp. 25.000,-
Lai-lain : Rp. 5.000,-
----------------------------------------------------
Jumlah utang mama Rp.150.000,-

Si ibu memandang anaknya yang berdiri di situ dengan penuh harap,
dan saya bisa melihat berbagai kenangan terlintas dalam pikiran ibu itu.
Jadi, ia mengambil bolpen, membalikkan kertasnya.
Dan inilah yang dituliskannya:

* Untuk sembilan bulan ketika mama mengandung kamu selama kamu tumbuh dalam
perut mama, GRATIS.
* Untuk semua malam ketika mama menemani kamu,mengobati kamu, dan mendoakan
kamu, GRATIS.
* Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini,
GRATIS.
* Kalau dijumlahkan semua, harga cinta mama adalah GRATIS.
* Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang
akan datang, GRATIS.
* Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, GRATIS, Anakku?
Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati mama adalah GRATIS.

Ketika anak itu selesai membaca apa yang ditulis ibunya, air
matanya berlinang, dan ia menatap wajah ibunya dan berkata:
"Aku sayang Mama..."

Dan kemudian ia mengambil bolpen dan menulis dengan huruf
besar2: "SAYA MASIH BERHUTANG SAMA MAMA".

Beruntunglah mereka yang masih memiliki Ibu.....
Bagi yang telah ditinggalkan Ibu, kapan terakhir kali kita kirimkan do'a untuk
beliau..?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

cinta kepada ibu

Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadatsnya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik kepada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar bin Khatab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?” lalu Umar pun menjawab: “tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibu merawatmu sembari mengharap kehidupanmu”.

Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada budi yang dapat membalas cinta seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: disana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati sang ibu. Ia lalu keluar diantara darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.

Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakannya dari jenis cinta misi lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata didasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubyngan darah. Tapi diatas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus di pertanggungjawabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhiat. Dari situ ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat disurga berkat doa-doa sang anak.

Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu bukti kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam jiwa orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil dihalaman depan buku monemetalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sabai, kupersembahkan pada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya? “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak”.

Doa sang ibu dan ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya! Karena itu ia selamanya terkabul!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments